Khamis, 30 Oktober 2008

HALLOWEEN KERAMAT?

HALLOWEEN KERAMAT?
Sumber : http://abusalma.wordpress.com/2007/10/24/halloween-keramat/

Dari Abi Sa’id radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Kalian benar-benar akan meniru sunnah (jalan/tata cara) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai-sampai sekiranya mereka memasuki lubang biawak kalian pun juga turut mengikutinya.” Kami (para sahabat) bertanya : ”Apakah Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab : ”siapa lagi?” [HR Bukhari, Bab Ma Dzakaro ’an Bani Isra’il 11/272]

Sungguh, apa yang telah disampaikan Nabi yang mulia ini benar-benar telah terjadi di zaman ini, segala apa yang dilakukan oleh kaum kuffar terutama Yahudi dan Nasrani, dengan begitu mudahnya diikuti oleh kaum muslimin. Tatkala kaum kuffar merayakan natal (peringatan kelahiran) ’tuhan’ atau orang suci mereka, maka kaum muslimin pun turut merayakan hal yang sama, walaupun kata natal diubah menjadi bahasa Arab, maulid. Ketika kaum kuffar merayakan birthday (peringatan ulang tahun), maka kaum muslimin berbondong-bondong turut merayakan hal yang sama. Ketika kaum kuffar terbakar euforia perayaan tahun baru masehi, maka kaum muslimin tidak mau kalah, mereka juga turut merayakan tahun baru masehi sekaligus tahun baru hijriah. Belum lagi perayaan-perayaan jahiliyah lainnya, seperti valentine, april mop, mother’s day, dan lain lain…

Menjelang akhir bulan Oktober ini, masyarakat Barat Eropa tampak sibuk memakai kostum aneh dan freak, mereka berkostum dengan pakaian menakutkan ala setan-setan ala imajinasi dan mitos mereka. Buah labu pun dipotong dan diukir dengan wajah mengerikan kemudian diberi lilin atau lampu di dalamnya, dan dipajang di rumah-rumah [i.e Jack-O-Lantern]. Anak-anak berkeliaran dengan kostum anehnya pada malam hari, berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya sembari berteriak ”Trick or Treat!”, untuk mendapatkan permen dan gula-gula. Rumah-rumah, halaman, lapangan, mall-mall, plaza, tempat perbelanjaan dan tempat umum lainnya, sibuk menyambut perayaan aneh ini dengan dekorasi-dekorasi aneh. Ya, perayaan ini adalah perayaan Halloween.

Ironinya, hal ini turut menyebar pula di kalangan kaum muslimin. Para pemuda Islam turut meramaikan syiar kaum kuffar yang jahiliyah ini, hanya untuk dikatakan tidak ketinggalan zaman ataupun takut disebut remaja ”jadul” tidak gaul. Menurut mereka, ini hanyalah perayaan belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan keyakinan… Namun, benarkah klaim mereka ini?!! Padahal, apabila mereka mau berfikir kritis dan tidak bersikap latah alias membebek begitu saja dengan budaya atau pemikiran asing, niscaya mereka dapat melihat dengan jelas bahwa Halloween ini bukanlah perayaan biasa tanpa ada tendensi keyakinan apa-apa. Karena, segala bentuk perayaan dan peringatan, pastilah berangkat dari tendensi suatu keyakinan atau ideologi tertentu…

Halloween sendiri menurut akar kata, berasal dari bahasa Inggris ”Hallow” yang artinya keramat atau suci. Upacara Haloween ini, sebenarnya berasal beberapa abad sebelum Kristiani. Kaum paganis bangsa Inggris dan Irlandia kuno, meyakini bahwa pada malam 31 Oktober, Tuhan memainkan tipu muslihat terhadap para penyembahnya yang tidak abadi (mortal), dengan membawa bahaya, ketakutan dan supernatural. Mereka juga meyakini bahwa, ruh (souls) orang-orang yang telah meninggal dibiarkan berkeliaran bebas dan dapat mengunjungi kembali rumah-rumah mereka, serta serombongan besar arwah jahat bergentayangan menejelajahi bumi.

Intinya, mereka (kaum paganis Inggris dan Irlandia Kuno) meyakini bahwa malam 31 Oktober adalah malam yang mencekam dan mengerikan, yang dipenuhi oleh arwah bergentayangan, hantu, penyihir, hobgoblin (hantu yang berpostur pendek), black cats (kucing hitam, sebagai simbol penyihir), para peri jahat dan iblis. Untuk menangkal kejahatan malam tersebut dan mencegah kemarahan para dewa (’tuhan’), mereka mengorbankan dan memberikan ’sesajen’ serta menyalakan api unggun yang besar di puncak bukit untuk menakuti dan menjauhkan arwah jahat.

Setelah kaum paganis Romawi menaklukkan Inggris, mereka menambahkan beberapa mitos pada tanggal 31 Oktober ini berupa festival panen buah-buahan, dalam rangka menghormati dan memuliakan Pomona, dewi buah-buahan. Beberapa tahun kemudian, gereja Kristian Barat pertama, merayakan peringatan hari ”All-Saints” atau ”All-Hallows” pada siang hari 31 Oktober, dan pada malamnya mereka merayakan ”Hallows-Eve” (Malam Suci/Keramat) atau ”Halloween”. Mereka tetap mengadopsi beberapa warisan pagan (berhalais) dengan tetap meyakini bahwa pada malam tersebut, orang-orang mati berjalan diantara mereka dan para penyihir serta warlock terbang berseliweran di tengah-tengah mereka, dan api unggun tetap dinyalakan untuk menjauhkan para arwah jahat dari mereka.

Secara perlahan-lahan, Halloween pun berubah menjadi bagian peribadatan dan kebiasaan keluarga. Pada abad ke-19, ritual kebiasaan ini mulai berkembang, dan seloroh tentang penyihir pun dirubah dan diganti dengan tricks (permainan) dan games yang dimainkan oleh anak-anak dan remaja. Halloween masih tetap menyimpan akar paganis berhalais, rumah dan halaman masih dipenuhi oleh dekorasi gambar-gambar menyeramkan dan menakutkan pada malam Halloween. Anak-anak mewarnai wajah mereka dan memakai kostum aneh, lalu berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain, sembari berteriak ”TRICK-OR-TREAT!!!”. Ritual menyediakan ’sesajen’ makan dan minum bagi para arwah digantikan dengan memberikan permen dan gula-gula kepada anak-anak berkostum, dan api unggun untuk mengusir roh jahat dirubah dengan ”Jack-O-Lantern”, yaitu sebuah labu yang tengahnya berlubang dan diukir dengan wajah menyeramkan serta diberi lilin di dalamnya.

Secara prinsip, Halloween sebenarnya berangkat dari ritual kuno yang melibatkan keyakinan terhadap arwah orang mati dan penyembahan kepada setan. Halloween, menurut mereka adalah hari keramat, dimana pada saat itu setan, iblis, penyihir dan segala bentuk makhluk supranatural berkeliaran bebas. Sehingga untuk mengusir arwah ini, diperlukan ritual-ritual khusus. Hal ini tentu saja di dalam Islam adalah terlarang dan haram hukumnya.
Ingatlah, Alloh Ta’ala berfirman :

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS al-Baqoroh : 105)

Dia Subhanahu juga berkata :

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS al-Baqoroh : 109)

Maka kaum muslimin, tetaplah anda di dalam syariat Alloh yang lurus ini dan janganlah berpaling

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آَثِمًا أَوْ كَفُورًا
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.”

فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan janganlah pula kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).”

Dan telah terang bagi anda bahwa orang kafir Yahudi dan Nasrani adalah orang-orang yang mendustakan agama Alloh, lantas untuk apa diikuti?!! Tanya kenapa!!!

[Disarikan dari artikel Abu Abdillah Muhammad bin Mustafaa, “Halloween”, Festivals and Celebrations in Islam, 2nd edition, hal. 132-134, Ak-Kitab & As-Sunnah Publishing, http://calltoislam.com/]

Rabu, 29 Oktober 2008

BOLEHKAH BERAMAL DENGAN HADIS DHA'IF (LEMAH)


SUDAHKAH KITA MENEPATI SYARAT PENGAMALAN HADIS DHA’IF?
Oleh Mohd Yaakub bin Mohd Yunus

Dewasa ini kita sering melihat para penulis-penulis serta penceramah-penceramah agama yang tidak memberi perhatian yang tinggi terhadap ketulenan dalil-dalil yang mereka guna pakai ketika menghasilkan bahan dakwah mereka. Walaupun sesetengah di antara mereka ini memiliki bergulung-gulung ijazah dari universiti yang hebat-hebat dan mendakwa memiliki ijazah yang bersanad sehingga kepada Rasulullah s.a.w. daripada para Syaikh yang dikatakan memiliki maqam yang tinggi, namun mereka sering mencemari hasil kerja mereka dengan hadis-hadis yang sebenarnya tidak bersumber daripada Rasulullah s.a.w.. Apabila mereka ini ditegur pasti mereka akan berkata bahawa para ulamak telah membenarkan penggunaan hadis lemah (dha’if) walaupun pada hakikatnya mereka tidak sekadar mempergunakan hadis-hadis yang dha’if sahaja bahkan mereka turut memaparkan hadis-hadis yang palsu (mawdhu’). Sebenarnya jawapan balas mereka itu hanyalah untuk mengaburi mata orang awam akan kejahilan mereka dalam ilmu hadis. Sikap golongan agama sebegini telah dicela oleh Imam Abu Bakr al-Khatib dalam buku al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah (ms.32):

Mereka merasa lelah dalam menghafal hadis, mencampur-adukkan perawi (mengkaji tentang perawi) menjauhi dalil qath’i (yang pasti) mengikuti apa yang tidak mereka ketahui, mereka lebih suka bersenang-senang dan istirehat, bahkan mengajar di majlis-majlis sedangkan mereka tidak berilmu serta mencela ilmu yang tidak mereka kuasai.

Mereka mengambil hadis dari buku-buku yang dijual, hanya mengeluarkan bayaran untuk mengumpulkan buku-buku itu, tanpa langsung mendengar hadis daripada para perawi, tidak mengetahui tentang semua yang berhubungan dengan perawi. Apabila mereka menghafal hadis maka mereka mencampur-adukkan yang buruk dengan yang baik dan yang benar-benar sahih dengan yang lemah.

Jika ditanyakan kepada mereka tentang sanad atau dalil dari sesuatu hadis mereka menjadi bingung, mengusap janggutnya yang semua itu menunjukkan kebodohan mereka dalam hal ini seperti keldai dalam kandangnya. Apabila mereka bertemu ahli hadis yang mana ilmu ini tidak mereka kuasai, mereka mencela para ahli hadis ini bahkan terus tidak mengendahkan mereka - Penulis nukil dari buku Dr Asyraf bin Sa’id, Hukmu al-‘Amal bi al-Hadits adh-Dha’if (edisi terjemahan dengan tajuk Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if, Pustaka Azzam, Jakarta 2004), ms 48-49.

Bermodalkan jubah serta serban yang dipakainya, akhirnya orang awam menelan bulat-bulat kata-kata mereka tersebut disebabkan status mereka sebagai kelompok yang dianggap intelektual dalam bidang agama dan hasilnya sesuatu amal ibadah mahupun kepercayaan yang tidak bersumber daripada Rasulullah s.a.w. telah dianggap sebagai amalan yang sunnah oleh orang ramai.

Sebelum kita meneruskan perbahasan tentang hukum menggunakan hadis yang statusnya dha’if, sewajarnya kita melihat jalan yang ditempuhi oleh Imam al-Syafi`i r.h dalam menerima atau menolak sesebuah hadis Rasulullah s.a.w.. Semoga dengan pemahaman yang benar dalam syarat-syarat sah dan diterimanya hadis menurut Imam al-Syafi`i ini, ianya akan dapat kita jadikan pedoman dalam berinteraksi dengan sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w..

Imam al-Syafi`i r.h. bercerita:

Ada seorang berkata: “Sebutkan kepadaku batas minimum syarat untuk diterima hujah terhadap ahli ilmu sehingga berita atau riwayat orang khusus diterima dan dianggap (benar) bagi mereka."

Aku (Imam al-Syafi`i r.h menjawab : "Riwayat satu orang daripada satu orang, hingga sampai kepada Nabi atau hingga ke bawah (peringkat terakhir / paling bawah). Hujah dan perbahasan dengan riwayat satu orang tidak dapat diterima kecuali jika memenuhi sejumlah kriteria.

Di antara kriteria itu adalah yang meriwayatkan adalah seorang tsiqah (terpercaya) dalam agama, dikenal jujur dalam berbicara, faham dengan apa yang diriwayatkannya, mengetahui maksud lafaz, dan ketika menyampaikan hadis dia menyampaikan sesuai dengan apa yang didengar tepat dengan huruf-hurufnya dan tidak menyampaikannya dengan makna (dengan lafaz dari dia sendiri). Kerana bila dia meriwayatkannya dengan makna (dengan pemahaman dia sendiri), padahal dia tidak mengetahui maksud lafaz, maka mungkin terjadi dia salah memahami sehingga seharusnya haram, malah dia katakan halal. Dan apabila dia menyampaikannya (meriwayatkannya) dengan huruf-hurufnya, maka kesalahfahaman tersebut tidak akan terjadi. Dia harus meriwayatkannya seperti itu baik dengan cara dihafal atau ditulis.

Bila ada ahli penghafal hadis yang lain meriwayatkan hadisnya, maka riwayatnya harus sama dengan riwayatnya itu. Juga dia tidak tergolong seorang yang mudallis (menipu) dengan meriwayatkan dari seorang yang dijumpainya pada satu riwayat yang tidak didengar olehnya, dia harus meriwayatkan daripada Nabi s.a.w. riwayat yang tidak berbeza dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah daripada Nabi s.a.w.. Begitulah kriteria yang harus dimiliki mulai perawi terendah (paling bawah) hingga paling atas yang sampai kepada Nabi s.a.w.. Kerana masing-masing daripada mereka diakui oleh orang yang mengambil riwayatnya dan oleh orang yang mengambil riwayat daripadanya, sehingga masing-masing daripada mereka harus memenuhi kriteria ini." – rujuk Dr Muhammad A.W. al-‘Aqil, Manhaj al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullah Ta’ala fi Itsbat al-Aqidah (edisi terjemahan dengantajuk Manhaj Aqidah Imam al-Syafi’i rahimahullah Ta’ala) ms. 89

Sekian kata-kata Imam al-Syafi`i rahimahullah yang darinya boleh kita membuat satu kesimpulan bahawa beliau menerima hadis dan mengikutinya dengan syarat hadis itu sah daripada Rasulullah s.a.w.. Kriteria yang telah ditetapkan oleh Imam al-Syafi`i r.h ini adalah sama dengan kaedah yang telah dibuat oleh para ulamak hadis dalam bidang musthalah iaitu:

1) Sanadnya tersambung (tidak putus / muttashil)

2) Para Perawinya adil

3) Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya)

4) Selamat dari syadz. Yang dimaksudkan syadz adalah riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah darinya.

5) Selamat dari 'illat atau cacat yang membuatnya cela.

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir r.h mengomentari ucapan Imam al-Syafi`i r.h di atas sebagai berikut:

"Siapa sahaja yang memahami ucapan Imam al-Syafi`i r.h pada bab ini, pasti dia akan mendapati, bahwa Imam al-Syafi`i r.h telah merangkum kaedah-kaedah yang sahih tentang ilmu al-hadis (al-Musthalah), dan bahawa dialah yang pertama kali menjelaskan secara jelas tentangnya, dia juga sebagai pembela hadis serta orang yang berhujah tentang wajibnya mengamalkan sunnah. Imam al-Syafi`i r.h juga memberi bantahan terhadap orang-orang yang menentang dan menolak hadis. Benarlah penduduk Makkah yang menggelari Imam al-Syafi`i r.h dengan gelar Nashir al-Sunnah (pembela sunnah), semoga Allah S.W.T. meredhainya." – rujuk Dr Muhammad AW al-‘Aqil, Manhaj Aqidah Imam al-Syafi’i, ms. 89

Demikian serba ringkas tentang mazhab Imam al-Syafi`i r.h dalam mengesahkan dan menerima sesebuah hadis yang boleh kita semua jadikan sebagai pedoman dan inilah manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang sebenar. Ternyata ianya berbeza dengan sikap sesetengah ilmuwan Islam tempatan yang mengaku kuat berpegang kepada mazhab Syafi’i, tetapi mengambil sikap acuh tak acuh dalam meriwayatkan sesuatu hadis.

Apakah itu hadis Dha’if? Hadis lemah atau dha’if adalah hadis yang tidak menepati persyaratan hadis sahih atau hasan. Kelemahan hadis tersebut boleh disebabkan oleh dua perkara yakni:

a) Terputus atau gugurnya sanad (mata rantai perawi hadis)

b) Disebabkan perawi (mereka yang mengkhabarkan hadis tersebut) dalam sanad hadis itu terdapat celaan terhadapnya mahupun kelemahan peribadi.

Tanggapan bahawa dibenarkan penggunaan hadis-hadis dha’if muncul dari pendapat sesetengah para ulamak yang membenarkan penggunaannya dalam bab fadhaail al-amal (keutamaan melakukan sesuatu amal) atau targhib (anjuran untuk melakukan sesuatu amalan) dan tarhib (amaran terhadap sesuatu amalan). Mereka sering berhujah dengan kata-kata Imam Ahmad r.h seperti berikut:

Apabila kami meriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w. tentang halal dan haram dan sunnah-sunnah hukum-hukum, nescaya kami keraskan yakni kami periksa dengan ketat sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan daripada Nabi s.a.w. tentang fadhaail al-amal yang tidak menyangkut masalah hukum dan tidak disandarkan kepada baginda s.a.w., nescaya kami permudahkan (pemeriksaan) sanad-sanadnya. – Diriwayatkan oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi di dalam Kifaayah fi Ilmir Riwayah, ms. 134.

Sebenarnya maksud Imam Ahmad di atas tidak menyokong hujah mereka kerana bagi beliau pembahagian hadis hanyalah menjadi dua iaitu sahih dan dha’if. Hadis dh’aif pula terpecah kepada dua kategori iaitu:

a) Hadis dha’if yang tertolak dan tidak dipakai sebagai hujah.

b) Hadis dhai’if yang boleh dijadikan hujah.

Hadis dha’if jenis kedua ini menurut istilah Imam al-Tirmidzi r.h dikenali sebagai hadis Hasan yang temasuk dalam kategori hadis yang sabit (thabithah). Hadis Hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, kurang dhabit, serta tidak ada syadz dan ‘illat yang berat di dalamnya. Ini bermakna semenjak zaman Imam al-Tirmidzi hadis dibahagikan menjadi tiga jenis iaitu sahih, hasan dan dha’if. Oleh itu maksud sebenar Imam Ahmad r.h dengan permudahkan pemeriksaan sanad (tasaahul) dalam perkara berkaitan fadhaail al-amal adalah beramal dengan hadis yang berstatus Hasan. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir r.h. ketika mensyarah buku al-Ba’iistul-Hasist Syarah Ikhtisar Ulumil-Hadith karya Ibnu Kathir r.h (jilid 1, ms. 279) telah berkata:

Sesungguhnya maksud ucapan mereka (termasuk Imam Ahmad, ‘Abdul Rahman bin Mahdi dan ‘Abdullah bin Mubarak) yang lebih tepat –wallahu a’lam- bahawa mempermudahkan maknanya pengambilan hadis hasan yang tidak sampai kedudukan kepada hadis sahih.

Selanjutnya Ibnu Qayyim r.h dalam kitabnya I’lam al-Mauqi’in ketika memaparkan tentang dasar hukum keempat berkata tentang pandangan Imam Ahmad:

Dasar hukum keempat: berpedoman kepada hadis mursal dan dha’if jika tidak ada yang membantahnya, beliaulah (iaitu Imam Ahmad) yang mengutamakan hadis mursal dan dha’if di atas qiyas. Hadis dha’if yang dimaksudkannya bukanlah hadis yang bathil, munkar yang salah satu perawinya tertuduh sebagai pemalsu hadis sehingga menyebabkan larangan pengamalan hadis ini. Tetapi dha’if menurut beliau adalah sebahagian dari sahih dan sebahagian dari hadis hasan, kerana beliau tidak membahagi hadis kepada sahih, hasan dan dha’if, tetapi beliau membahagi hadis kepada sahih dan dha’if. – Rujuk I’lam al-Mauqi’in, jilid 1, ms. 31. Penulis nukil dari buku Dr Asyraf bin Sa’id, Hukmu al-‘Amal bi al-Hadits adh-Dha’if, ms 125.

Bagi mereka yang suka menyebarkan hadis dha’if, mereka beranggapan telah terjadi ijmak (kesepakatan) di kalangan para ulamak tentang sahnya penggunaan hadis dha’if dalam perkara fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib sedangkan realitinya telah terjadi khilaf (perbezaan pendapat) di antara para ulamak sebagaimana diterangkan secara meluas di dalam kitab-kitab musthalah. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani r.h:

Nukilan ini (terjadinya ijmak tentang dibenarkan penggunaan hadis dha’if dalam bab fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib) perlu dipersoalkan kerana perbezaan pendapat dalam masalah ini tetap ada di mana sebahagian para peneliti hadis berpihak kepada pendapat tidak dibolehkan menggunakan hadis dha’if secara mutlak dalam masalah hukum atau fadhaail. Syaikh Jamaluddin al-Qosimi r.h dalam Qowa’id at-Tahdits (m.s. 94) berkata:

Dikisahkan oleh Ibnu Sayyid al-Nas dalam Uyun al-Atsar daripada Yahya bin Ma’in dan dinisbatkan kepada Abu Bakar bin al-‘Arabi dalam Fath al-Mughits, sebenarnya ini juga pendapat Bukhari dan Muslim… juga pendapat Ibnu Hazm.
- Tamamul Minnah fit-Ta’liq ‘Ala Fiqhus Sunnah, (edisi terjemahan dengan tajuk Terjemah Tamamul Minnah Koreksi dan Komentar Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Syaikh Sayyid Sabiq) ms. 27

Inilah juga pegangan Imam al-Syafi’i r.h yang tekenal dengan kata-katanya seperti di bawah:

"Apabila hadis itu sahih, maka ia adalah madzhabku." – rujuk Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shifatu Shalaati an-Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wasallam min at-Takbiiri at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, (edisi terjemahan dengan tajuk Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) ms. 58

“Setiap apa yang aku katakan, sedangkan daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdapat hadis sahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadis nabi adalah lebih utama. Oleh itu, janganlah kamu mengikutiku (bertaklid padaku)." – rujuk Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, ms. 59

“Setiap perkara yang aku telah perkatakannya, sedang ada riwayat yang sahih di sisi ulama hadis daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyanggahi apa yang aku ucapkan, maka aku menarik balik ucapanku semasa hidupku dan selepas mati”. – rujuk Ibn Qayyim al-Jauziyyah, 'Ilam al-Muwaqqi'iin, jilid 2 ms. 263

Selanjutnya apa yang sebenarnya dimaksud oleh sebahagian para ulamak bahwa boleh beramal dengan hadis-hadis dha’if untuk fadhaail al-amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah wujudnya dalil yang sahih secara tafshil (terperinci) yang menetapkan tentang sesuatu amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadis-hadis dha'if yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaail al-amal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadis-hadis tersebut tidak terlalu dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebahagian ulamak: boleh beramal dengan hadis-hadis dha'if untuk fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib. Satu lagi syaratnya yang perlu dilihat adalah hadis dh’aif tersebut masih membicarakan hukum asli tanpa adanya penambahan atau menetapkan batasan baru bagi amalan tersebut. Sebagai contohnya amalan berpuasa sunat pada hari Isnin dan Khamis atau pada bulan-bulan haram telah ditetapkan menerusi dalil yang sah dari hadis-hadis Nabi s.a.w.. Setelah itu terdapat hadis-hadis dha’if yang ringan berbentuk fadhaail al-amal atau tarhib dan targhib yang tidak berlebihan, maka sesetengah ulamak menbenarkan beramal dengan hadis tersebut. Berbeza pula sekiranya melakukan ibadah tertentu pada malam Nisfu Sya’ban yang tidak memiliki sebarang sandaran dari al-Qur’an mahupun al-Sunnah, maka dalam situasi sebegini hadis yang ringan kedha’ifannya pada dasarnya tidak memiliki sebarang nilai. Apa pun jua bagi para ulamak yang membolehkan pengamalan hadis dha’if yang ringan dalam bab fadhaail al-amal atau tarhib dan targhib telah menetapkan beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat. Menurut Syaikh Abu ‘Abdullah Sayid bin ‘Abbas al-Jalimi:

Para peneliti dalam disiplin ilmu ini menyatakan larangan mengamalkan hadis dha’if baik dalam hukum mahupun bab fadhaail al-amal (keutamaan ibadah). Golongan yang membenarkan mengamalkan hadis dalam keutamaan ibadah sekalipin hadis dha’if (selama bukan hadis palsu atau sangat lemah) telah menetapkan syarat-syarat penting yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadis tersebut. - Penulis nukil dari buku Dr Asyraf bin Sa’id, Hukmu al-‘Amal bi al-Hadits adh-Dha’if , ms 18.

Syarat-syaratnya adalah seperti berikut:

Syarat pertama: Penggunaan hadis tersebut khusus untuk perkara berkaitan fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib. Penggunaan hadis dha’if dalam hal-hal berkaitan akidah dan penetapan hukum-hakam (seperti mewajibkan mahupun menetapkan hukum sunat terhadap sesuatu amal) adalah sama sekali tidak dibenarkan. Menetapkan hukum ke atas sesuatu amalan mestilah berlandaskan nas yang sabit. Sekiranya tidak seseorang itu berkemungkinan tinggi akan terjebak ke dalam perbuatan mencipta syari’at yang baru. Imam al-Syafi’i r.h telah mengingatkan kita dengan kata-katanya yang masyhur:

“Sesiapa yang menganggap baik (apa yang diciptakan dalam agama tanpa nas dari al-Qur’an dan al-Sunnah), dia telah mencipta syarak, sesiapa yang mencipta syarak, maka dia telah kafir.” - Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, ms. 507

Syarat kedua: Hadis yang dipergunakan tersebut tidak terlalu dha'if. Hadis-hadis maudhu' (palsu), munkar (hadis yg diriwayatkan perawi yang dha’if bertentangan dengan riwayat dari perawi yang thiqah) dan hadis-hadis La ashla lahu (yang tidak diketahui asal-usulnya) sama sekali tidak dibenarkan penggunaannya.

Syarat ketiga: Hadis tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi s.a.w.. Justeru itu ketika mempergunakan hadis tersebut tidak boleh menggunakan lafaz-lafaz yang menetapkan secara pasti (jazm) bahawa hadis tersebut berasal daripada Rasulullah s.a.w. seperti: 'Nabi s.a.w. telah bersabda' atau 'Baginda s.a.w. telah mengerjakan sesuatu' atau 'Rasulullah s.a.w. telah memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan seolah-olah baginda s.a.w. benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafaz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah diriwayatkan dari Nabi s.a.w.’ dan yang serupa dengannya.

Syarat keempat: Hadis tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadis yang sabit. Ini bermakna bahawa hadis dha’if yang dipergunakan tersebut tidak membentuk satu amalan yang baru yang dikategorikan sebagai bidaah.

Syarat kelima: Hadis tersebut tidak boleh disebarkan kepada orang ramai ataupun mengajak orang ramai untuk beramal dengan hadis tersebut. Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar r.h dalam Tabyin al-Ajib Bimaa Warada Fi Fadli Rajab (ms. 23-26) telah berkata:

“Bahawa para ahli ilmu telah mempermudah-mudahkan dalam membawakan hadis-hadis tentang fadhaail al-amal. Walaupun ada diantaranya lemah (dha’if) selama tidak palsu (mawdhu’) Sepatutnya perkara itu diberikan syarat iaitu orang yang beramal dengannya, meyakini bahawa hadis itu lemah dan tidak memasyhurkannya agar tidak ada orang yang melaksanakan hadis dha’if kemudian mengsyariatkannya atau diduga oleh sebahagian orang-orang yang bodoh bahawa hadis tersebut sahih (itu merupakan sunnah yang benar).” - Dinukil dari buku Dr Asyraf bin Sa’id, Hukmu al-‘Amal bi al-Hadits adh-Dha’if, ms 80.

Syarat keenam: Wajib menperjelaskan status hadis tersebut sebagai dha'if ketika menukilnya dalam penulisan mahupun menyampaikan secara lisan.

Namun begitu sekiranya kita meneliti syarat-syarat di atas, sewajarnya kita bertanya kepada golongan yang gemar untuk menyebarkan hadis-hadis dha’if bersandarkan dakwaan bahawa ianya dibenarkan oleh ulamak-ulamak seperti al-Hafidz Ibnu Hajar, Imam al-Nawawi dan al-Hafidz al-Sakhawi; adakah kamu telah memperhatikan serta mempergunakan syarat-syarat tersebut dengan penuh keikhlasan ketika meriwayatkan hadis-hadis tersebut? Penulis yakin ramai di antara mereka yang telah membelakangi syarat-syarat tersebut apatah lagi proses untuk membezakan hadis yang darjatnya sahih, hasan, dha’if yang ringan, dha’if jiddan (sangat lemah), mawdhu’, munkar dan sebagainya seperti yang terdapat dalam ilmu hadis (al-Musthalah) hanya mampu dilakukan oleh mereka yang benar-benar pakar dalam bidang hadis. Menyedari hakikat ini adalah lebih baik bagi masyarakat Islam di Malaysia untuk memberikan keutamaan yang tinggi hanya untuk beramal dengan hadis-hadis yang sabit (iaitu sahih dan hasan) daripada baginda s.a.w..

Tindakan menyebar hadis-hadis Rasulullah s.a.w. tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya merupakan satu jenayah ilmiah dan merupakan perbuatan yang tercela. Sabda Rasulullah s.a.w.:

Cukuplah seseorang itu dianggap berdusta apabila dia menceritakan segala sesuatu yang dia dengar. – Hadis riwayat Imam Muslim di dalam Shahihnya, no: 5

Celaan tersebut adalah disebabkan setiap perkhabaran yang sampai kepada seseorang maka terdapat kemungkinan ianya perkara yang benar ataupun dusta. Oleh itu sekiranya seseorang itu menyebarkan apa jua perkara yang diterimanya tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya, maka ini boleh mengakibatkan dirinya terjebak menjadi penyebar perkara yang dusta. Lantaran itu Rasulullah s.a.w. telah mencela perbuatan tersebut. Seharusnya kita sedari bahawa para sahabat r.a amat berhati-hati ketika menyampaikan hadis-hadis Rasulullah s.a.w.. Hal ini adalah sepertimana diriwayatkan di bawah:

Berkata Abdurrahman bin Abi Laila: Kami Pernah berkata kepada Zaid bin Arqam: Ceritakanlah kepada kami (hadis-hadis) daripada Rasulullah s.a.w.. Beliau menjawab: Kami telah tua dan lupa, sedangkan menceritakan hadis dariupada Rasulullah sangat berat. – Hadis riwayat Imam Ibnu Majah di dalam Sunannya, no: 25

Satu perkara yang sewajarnya kita yakini adalah perbahasan yang wujud dalam hadis-hadis yang sahih dan hassan telah mencakupi seluruh bidang ilmu dalam Islam termasuk perkara berkaitan fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib. Dr. Asyraf bin Sa’id berkata:

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Muslim bahawa hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh perawai yang terpercaya atau para ahli ilmu sangat banyak jumlahnya sehingga tidak perlu meriwayatkan lagi dari perawi yang lemah dan cacat. Begitu juga yang dikatakan oleh Ibnu Hibban:

Kami tidak berdasarkan kepada dalil yang tidah sah dari segi periwayatan dalam buku kami kerana dalil-dalil sahih yang ada sudah cukup bagi kami. - Dinukil dari buku Dr Asyraf bin Sa’id, Hukmu al-‘Amal bi al-Hadits adh-Dha’if, ms 108.


Sesungguhnya pengamalan hadis dha’if ini membuka pintu kerosakan. Pada mulanya mungkin seseorang itu membataskan diri dalam perkara berkaitan fadhaail al-amal atau targhib dan tarhib sahaja. Namun lambat laun penggunaan hadis dha’if ini akan menular pula dalam perkara berkaitan dengan akidah, tauhid dan hukum-hukum lain sebagaimana yang terjadi sekarang. Di antara kerosakan yang fatal dalam sikap terlalu mengambil mudah dalam pengamalan hadis dha’if ini adalah timbulnya amalan bid’ah dalam masyarakat terutamanya hadis-hadis dha’if yang mengkhususkan amalan tertentu, dikerjakan pada hari, tatacara, tempat, keadaan ataupun jumlah yang tertentu tanpa disokong oleh riwayat yang sah daripada Rasulullah s.a.w..

Jelas bagi kita bahawa periwayatan hadis-hadis Rasulullah bukanlah satu perkara yang boleh di ambil mudah. Kita seharusnya berusaha untuk meneliti statusnya terlebih dahulu. Sekiranya tidak mampu untuk berbuat demikian maka hendaklah kita merujuk kepada mereka yang ahli dalam bidang hadis. Sewajarnya kita tidak menyebarkan sesuatu hadis hanya bersandarkan persangkaan di dalam diri masing-masing bahawa ianya hadis yang sabit. Sesungguhnya sikap hanya bergantung kepada persangkaan telah dicela oleh Allah S.W.T. melalui firman-Nya:

Dan kebanyakan mereka, tidak menurut melainkan sesuatu sangkaan sahaja, (padahal) sesungguhnya sangkaan itu tidak dapat memenuhi kehendak menentukan sesuatu dari kebenaran (iktiqad). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan apa yang mereka lakukan. – Yunus (10) : 36

Justeru itu satu tindakan yang bersepadu oleh ilmuwan Islam di Malaysia perlu di ambil demi untuk membersihkan hadis-hadis dha’if dan mawdhu’ yang telah disebarkan di tengah-tengah masyarakat oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Ini merupakan salah satu agenda utama gerakan Tajdid di Malaysia dan ianya adalah satu usaha yang murni kerana terdapat ancaman yang keras daripada Rasulullah s.a.w bagi mereka yang berdusta di atas nama baginda. Menurut Imam al-Thahawi r.h di dalam kitabnya Musykilul Athar (jilid 1, ms. 176):

Barangsiapa yang menceritakan (hadis) dari Rasulullah s.a.w. atas dasar zhan / persangkaan, bererti dia telah menceritakan (hadis) dari baginda s.a.w. dengan tanpa haq (dengan tidak benar). Dan orang yang menceritakan (hadis) dari baginda s.a.w. dengan tanpa haq, bererti dia telah menceritakan (hadis) dari baginda s.a.w. dengan cara yang batil. Dan orang yang telah menceritakan (hadis) dari baginda s.a.w. dengan cara yang batil, nescaya dia menjadi salah seorang pendusta yang masuk ke dalam sabda Nabi s.a.w.:

Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka. - Hadis riwayat Imam al-Bukhari di dalam Shahihnya no: 107

Selasa, 28 Oktober 2008

GAMBAR SEKITAR MAJLIS PERASMIAN Al-FIKRAH.NET

S.S. Mufti Perlis, Dr. Mohd Asri Zainul Abidin mengucapkan tahniah kepada Tuan Hassan Tuan Lah yang merupakan pengasas Laman Web al-Fikrah.Net


S.S. Mufti Perlis, Dr. Mohd Asri Zainul Abidin sedang menyampaikan ucapan perasmian al-Fikrah.Net serta memberi kata-kata nasihat kepada ahli-ahli al-Fikrah.


Akob bersama sebahagian peserta sedang mendengar ucapan S.S. Mufti Perlis




akob sedang menyampaikan sepatah dua kata dalam majlis Perasmian al-Fikrah.Net dan sambutan Hari Raya


akob sedang tekun mendengar kata-kata nasihat daripada S.S. Mufti Perlis, Dr. Mohd Asri Zainul Abidin.

Akob sedang bersembang dengan S.S. Perlis Dr. Mohd Asri Zainul Abidin dan ahli-ahli al-Fikrah.Net

Akob bersama sebahagian ahli-ahli laman web al-Fikrah.Net


Jumaat, 24 Oktober 2008

RAYA SELEPAS PUASA ENAM

Raya selepas Puasa Enam (8 Syawal)
Oleh Khairol Amin


Hari Eid al-Fitr atau Hari Raya Eidul Fitri yang kedua menandakan bermulanya Puasa enam bagi setengah-tengah orang Islam. Pelbagai alasan yang memotivasikan mereka untuk memulakan puasa pada hari keDua Syawwal. Diantaranya adalah :

a. masih berada didalam mood puasa, lagi pun baru sehari break, elok sahaja diteruskan berpuasa.

b. takut melambat-lambatkan Puasa Enam nanti langsung Syawwal berlalu

c. berpakat sesama kawan-kawan untuk ramai-ramai berpuasa enam.

Alasan (c) ini akan membawa setengah-tengah mereka dikalangan kariah masjid atau surau menyambut apa yang dinamakan Hari Raya selepas puasa enam yang jatuh pada hari 8 Syawwal. Amalan ini juga dikenali oleh masyarakat Timur Tengah sebagai Eid al-Abrar, Kita dapati ada dikalangan anggota kariah akan memasak ketupat dan ada yang mula membakar lemang. Ada dikalangan anak-anak kecil yang bertanya,

"Buat apa tu?"

Jawab si-Ibu : "Ini haa...Bapak engkau nak sambut Raya lepas habis puasa enam! Ini yang Mak masakkan rendang untuk dia".

Menyambut Raya selepas tamat puasa enam ini agak popular juga dikalangan Umat Islam seluruh dunia. Ia merupakan satu fenomena sejagat.Jika dijejaki, sejarahnya pasti lama sebelum zaman Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah rh lagi, kerana beliau sendiri pernah berfatwa mengenai perbuatan tersebut didalam Kitab Majmu' Fataawanya. Kenapa mereka begitu ghairah sekali menyambut Eid al-Abrar, atau Raya selepas puasa enam? Mungkin dua faktor yang dapat difikirkan buat masa ini...

1. Memahami bahawa hadith berikut :-

من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال فكأنما صام الدهر

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikutinya dengan berpuasa 6 hari dibulan Syawwal maka seolah-oleh disudah berpuasa sepanjang tahun". [hadith Sahih Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmudzi]

Dengan berpuasa 6 hari didalam bulan Syawwal ganjarannya adalah seperti berpuasa 1 tahun, dan ini bermakna sudah tentu beraya pada hari ke lapan Syawwal bagi mereka yang tamat puasa enam lebih bagus lagi.

2. Perayaan ini sudah menjadi satu fadhilat turun temurun dikalangan sebahagian kecil umat Islam.

Ini merupakan amalan warisan yang kelihatan seolah-olah satu sunnah besar yang perlu diikuti.

Apakah hukum menyambut Eid al-Abar ini?

Didalam Kitab al-Sunnan (ms 166) ada menyebut : "Perayaan untuk Eid ini bagi setengah-tengah masjid adalah masyhur, dimana lelaki dan wanita bercampur lalu berjabat tangan sampai menyebut lafaz-lafaz Jahiliyah, kemudian mereka akan menyediakan berapa hidangan makanan khas bagi perayaan ini". Berkata Ibn Taimiyah rh : "Bagi mereka yang menyambut perayaan yang tidak ada didalam syariah, seperti beberapa malam pada bulan Rabi al-Awal dengan mengatakan, sesungguhnya ini adalah Malam Maulud, atau beberapa malam didalam bulan Rejab, atau 18 Zulhijjah, atau Jumaat pertama didalam bulan Rejab, atau 8 Syawwal yang kenali namanya sebagai Eid al-Abrar : sesungguhnya ianya adalah bid'ah yang tidak disukai oleh Salaf, dan mereka tidak beramal dengannya" [Majmu' Fataawa, 25/298].

Jelas disini bahawa umat Islam dilarang menyambut Eid al-Abrar kerana ia merupakan satu perayaan yang diada-adakan. Tidak ada larangan bagi mereka yang ingin berpuasa seawal 2 Syawwal, kerana yang diharamkan hanyalah berpuasa pada 1 Syawwal sebagai hadith Abu Saed ra. riwayat Imam Bukhari. Bagi umat Islam hanyalah terdapat hanya 2 perayaan sahaja, iaitu Eid al-Fitr dan Eid al-Adha.

Barangkali kita kena fikirkan juga mengapa Imam Malik rh mengatakan puasa Enam itu makruh hukumnya, walaupun puasa Enam ini datang dari hadith yang sahih. Beliau khawthir akan mungkin ada yang mengatakan puasa Enam ini hukumnya wajib. Syeikh Dr Yusuf al-Qaradhawi rh menganggap kata-kata Imam Malik ini sebagai langkah berhati-hati dan bukan melarang.

Mungkin kita juga boleh usulkan agar puasa Enam tersebut tidak dilakukan pada awal Syawwal bagi meraikan kedatangan sahabat handai yang menziarahi mereka.Puasa enam merupakan amalan kesinambungan madrasah Ramadhan yang telah tamat apabila bermulanya Syawwal. Ini bukan merupakan puasa untuk menyambut 8 Syawwal, atau Hari Raya selepas puasa Enam yang jelas bid'ah hukumnya. Apa yang jelas ialah puasa ini boleh dilaku pada bila-bila masa didalam bulan Syawwal.

Sekian, wassalam.

WANITA PADA PANDANGAN SYI'AH



Di dalam ajaran agama syiah terdapat perkara yang amat jelik dan keji yang di lakukan terhadap wanita di antaranya Mutaah dan bukan itu sahaja banyak lagi perbuatan yang keji yang lain tapi buat masa ini saya tumpukan permasalahan mengenai mutaah terlebih dahulu,
Syiah menghalalkan mutaah dengan berselindung di atas nama islam sedang ajaran syiah itu sendiri amat jauh dari islam seperti jauhnya timur dan barat seperti langit dan bumi sampai bila-bila pun syiah dan islam tidak akan pernah bersatu. Hanya mereka yang jahil dan dungu akan tinggal diam terhadap kesesatan syiah dan bahkan mereka jadi gologan paling lantang melaungkan kesatuan bersama syiah. Adakah kita akan bersatu dengan gologan ahli hawa?

Sesekali tidak!

kerana Hanya ISLAM satu-satu nya agama di muka bumi ini yang menyediakan peraturan yang lengkap dan sempurna bagi menjaga hak-hak para wanita dan kemuliaan mereka.Tapi sungguh aneh bagi Syiah kemulian para wanita hanya tercapai apabila mereka sedia mengorbankan kesucian mereka untuk diratah laki-laki yang bernafsu haiwan!.nauzubillah..

Di dalam artikel ini saya akan membawa dalil-dalil dari rujukan syiah tanpa ada percampuran sumber dengan sumber ahli sunnah tapi hanya semata-mata datang dari kitab-kitab besar mereka.

Peringatan

Untuk peringatan riwayat-riwayat Syiah (akan di papar sebentar lagi) yang disandarkan ke atas Rasullah dan ahlu bait terutama mengenai mutaah adalah batil dan amat mustahil riwayat sekeji itu di lafaz oleh mereka.Sesungguhnya perkara yang jelas bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah tidak layak dihubungan kepada Rasullah dan Ahlul bait,seperti mana diriwayatkan dari ja’far bin Al-Baqir “Maka takutlah kalian kepada Allah dan jangan mahu menerima atas nama kami, apa saja yang bertentangan dengan firman Tuhan kami,Allah ta’la dan sunnah Nabi kami,Muhammad s.aw. Sebab kami apa bilamenceritakan (sesuatu) pasti kami katakana juga: Allah azza wajalla berfirman (begini) RAsullah saw bersabda (begini)[1]

Maka ja’far memerintahkan dan menyeru syiah dulu dan sekarang untuk menolak riwayat-riwayat menyelisih Al-quran dan sunnah sekiranya mereka pengikut ahli bait yang benar : “janganlah kalian menerima suatu perkabaran di atas nama kami, melainkan yang sesuai dengan quran dan sunnah [2]

Kedua-dua riwayat ini di ambil dari sumber syiah

Riwayat-riwayat mengenai Mutaah

Di dalam bahagian ini saya akan membawa riwayat-riwayat yang berupa galakkan untuk bermutaah.Mari kita mulai dengan menampikan kedustaan mereka terhadap nabi kita Rasullah saw seperti berikut:

“siapa yang keluar dari dunia (mati) tanpa pernah bermutaah, maka kelak dia akan datang di hari kiamat dalam keadaan terpotong hidungnya”[3]

Lebih jijik dan lebih berani lagi mereka mengadakan-adakan atas nama beliau, yaitu katanya beliau bersabda :

“Sesiapa yang bermutaah dengan wanita muslimah seolah-olah telah menziarahi kaabah sebanyak 10 kali”[4]

Adakah perbuatan sekeji ini sama dengan menziarahi kaabah 70 kali? Dengan siapa? Wanita muslimah? Saya serahkan persoalan kepada para perbaca untuk menilainya.

Malah, syiah juga mengkafirkan sesiapa yang tidak mnerima mutaah seperti diriwayatkan Muhammad bin ali al-Hussain bin musa bin Babawaih (as-saduq) telah meriwayatkan daripada imam As-shadiq telah berkata:

“Sesunguhnya mutaah agama ku dan agama nenek moyang ku. Sesiapa yang beramal denganya dia telah beramal dengan agama kami sesiapa yang mengingkarinya, dia telah mengingkari agama kami dan beriktiqad dengan selain daripada agama kami”[5]

Ditanya kepada abu Abdullah ; adakah diberikan pahala kepada orang yang mengamalkan mutaah? Dia berkata,” Jika tujuanya semata-mata kerana Allah, maka tidak ada apa yang yang dituturkan mengenainya melainkan akan dikurniakan pahala oleh Allah, jika dia ingin melaksanakannya Allah akan ampunkan dosanya dengan mutaah tersebut, jika dia mandi wajib Allah akan ampunkan dosanya sebanyak mana air yang mengalir daripada bulu-bulunya”[6]

Mereka juga berbohong atas nama Rasullah , mereka mengatakan bahwa beliau bersabda:

“'Barangsiapa melakukan mut'ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut'ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut'ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.”[7]

Kalau bukan kerana akan menyebabkan artikel ini menjadi panjang dan meleret sudah tentu saya akan nukil banyak lagi riwayat-riwayat mengenai mutaah.Walaubagaiman pun riwayat-riwayat diatas saya rasa sudah mencukupi untuk memberi gambaran kepada pembaca mengenai mutaah.

HARUS BERMUTAAH DENGAN KANAK-KANAK PEREMPUAN
Ajaran syiah bukan sahaja membenarkan mutaah dilakukan keatas wanita bahkan kanak-kanak juga tidak terlepas dari perlakuan kotor ini.Tidak disyaratkan orang yang di mutaah baligh dan berakal bahkan mereka mengatakan boleh bermutaah dengan perempuan yang berumur sepuluh tahun!. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam al-Furu minal kafi.

Syeikh Al-Allamah Dr.Hussain al-Musawi Rahimahullah bekas ulama besar syiah yang akhir mati dibunuh telah menulis di dalam bukunya bertajuk ”LILLAHI TSUMMA LI AT-THARIKH (Untuk Allah kemudian untuk sejarah) syeikh menyatakan khoimeni pernah melakukan mutaah dengan budak perempuan kecil ketika beliau pulang bermusafir dari Mosul ke Baghdad. Saya akan menukilkan kisah tersebut secara lengkap dari buku edisi terjemahan “KENAPA AKU MENINGGALKAN SYIAH”

“Setelah selesai tempoh musafir,kami pulang. Ketika dalam perjalanan pulang ke Baghdad,Imam khomeni ingin berehat daripada keletihan musafir, lalu beliau menyuruh kami menuju ke kawasan Al’atifiah yang merupakan tempat tinggal seorang lelaki berasal dari Iran yang dikenali dengan Sayid shahib,yang mempunyai hubungan rapat dendan beliau Sayid Sahhib sangat gembira dengan kedatangan kami.Kami tiba di tempaynya waktu Zuhur.Belau menyediakan makan tengahari yang istimewa kepada kami dan memaklumkan saudara maranya tentang kedatangan kami dengan penuh perhormatan.Sayid Shahib meminta kepada kami supaya bermalam di rimahnya pada malam tersebut.Imam pun bersetuju.

Kemudian apabila tiba waktu Isyak kami disediakn dengan makan malam. Para hadirin yang hadir mencium tangan imam dan bersoal jwab denganya. Ketika hampir waktu tidur para hadirin bersurai kecuali ahli rumah tersebut. Imam Al-Khoimeni melihat kanak-kanak tersebut sangat cantik.Imam meminta daripada ayahnya Sayid Shahib untuk bermutaah dengannya dan ayahnya bersetuju dengan perasaan yang sangt gembira. Imam Khoimeni tidur dan kanak-kanak tersebut tersebut berada dalam dakapannya. Kami mendengar suara tangisan dan teriakan kanak-kanak tersebut.

Apa yang penting Imam telah melalui malam tersebut. Apabila tiba waktu pagi, kami bersama-sam untuk bersarapan pagi. Imam telah melihat kepada ku dan mendapati tanda-tanda tidak puas hati yang lahir secarta jelas di wajah ku; Bagaimana pada waktu itu beliau sanggup bermutaah dengan kanak-kanak perempuan tersebut sedangkan di dalam rumah tersebut terdapat ramai wanita-wanita muda,baligh,berakal yang tidak menjadi halangan kepada beliau untuk bermutaah dengan salah seorang daripada mereka. Kenapa beliau tidak berbuat demikian.

Beliau berkata pada ku : Sayid Husain, apa pendapat kamu tentang bermutaah dengan kanak-kanak perempuan?

Aku berkata kepadanya: Kata permutus adalah kata-kata kamu, perbuatan yang benar adalah perbuatan mu dan kamu Imam Mujtahid. Man mungkin orang seperti ku berpandangan atau berpendapat melainkan apa yang telah kamu lihat dan katakan, seperti diketahui tidak mugkin akau bertentangan daaengan kamu

jawapan khoimeni keatas persoalan mutaah terhadap kanak-kanak perempuan sangat mengejutkan.Mari kita melihat sambungnya

“Beliau berkata : Sayid Husain, sesungguhnya bermutaah dengan kanak-kanak tersebut adalah harus tetapi dengan bercumbu-cumbuan berciuman dan tafkhiz (meletakan zakar antara dua paha),Adapun brsetubuh, dia (kanak-kanak) masih belum mampu untuk melakukan. [8]
Adakah pendapat khoimeni laknatulah ini memeranjatkan,Beliau juga pernah berkata dengan perkataan yang lebih keji dari itu :

“Tidak mengapa bermutaah dengan kanak-kanak yang masih menyusu dengan memeluknya dan tafkhiz dan bercumbuan[9]

Penutup

Dari apa yang kita baca sebentar tadi jelas bagi kita semua bahawa Mutaah hanya di jadikan alat memuas nafsu sehingga tidak siapa dapat melepaskan diri samada wanita,kanak-kanak dan paling jijik kanak-kanak yang menyusu juga tidak terlepas menjadi mangsa nafsu puas para ulama-ulama Syiah.Akhir sekali kepada penyanjung khoimeni ; sesunguhya Imam Syaitan ini bukan ikutan yang baik dan sempurna,Ikutilah Rasullah dan para Sahabat yang mulia hanya dengan megikuti jalan-jalan mereka kita akan sampai ke destinasi kita iatu Jannah selain dari jalan-jalan mereka adalah sesat,khurafat syirik dan bidaah.


Sekian

______________________________________________________

rujukan :

1)Rijalul Kusyaiy, hal 195 dalam judul “Tadzkiratul mughirah bin sa'ad,cetakan karbala

2)Al-amali,oleh ath-Thusi juz 1, hal 237, cetakan nejef

3)TAfsir manhajus shodiqin,oleh mullah Fathullah Al-Kasyani

4)Riwayat ini dinukilkan dari buku Kenapa aku meninggalkan syiah,Al mutaqin media

5)Man la yaduruhu faqih :3/3666)Man la yaduruhu faqih :3/3367)'Ujalah Hasanah tarjamah Risalah Al-Muta'ah oleh majlisi hal 168)Kenapa aku meninggalkan syiah, hal 90 dan 919)Tahrir Al wasilah : 2/241 masalah nombor 12

Jumaat, 17 Oktober 2008

UTUSAN MALAYSIA 17hb Oktober : Kewajipan Taat Kepada Pemimpin

Kewajipan taat kepada pemimpin
Oleh MOHD. YAAKUB MOHD YUNUS

http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2008&dt=1017&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_03.htm


Kewujudan kepimpinan yang stabil bagi sesebuah negara dilihat sebagai satu aspek yang penting dalam Islam. Tanpa wujudnya pemimpin, kepentingan rakyat tidak akan mampu ditadbir dengan baik. Apabila masyarakat dibiarkan tanpa pemimpin nescaya keadaan akan menjadi huru-hara di mana golongan yang kuat akan menindas kaum yang lemah. Tanpa pemimpin undang-undang rimba akan ditegakkan dan kezaliman akan bermaharajalela. Justeru, urusan kepimpinan merupakan salah satu dasar utama dalam Islam.

Firman Allah SWT: "Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh daripada kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahawa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemimpin di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah-khalifah yang berkuasa". (al-Nur (24): 55)

Lantaran itu Islam telah meletakkan beberapa dasar yang penting tentang bagaimana rakyat perlu berinteraksi dengan pemimpin yang berkuasa demi menjamin kestabilan politik serta kemakmuran masyarakat di sesebuah negara Islam. Ketaatan kepada pemimpin merupakan satu dasar yang pokok bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu". (al-Nisaa' (4): 59)

Namun Islam hanya menetapkan kewajipan untuk mendengar dan taat kepada pemimpin selagi mana pemimpin itu tidak menyuruh membuat perkara-perkara yang berunsur maksiat.

Sabda Rasulullah SAW: "Diwajibkan mendengar dan taat (kepada pemimpin) ke atas setiap Muslim sama ada dalam hal yang dia suka atau benci selagi mana dia tidak diperintah untuk melakukan maksiat. Jika dia diperintah melakukan maksiat maka tidak wajib untuk mendengar dan tidak wajib taat". - Hadis riwayat Imam al-Bukhari.

Namun sekiranya pemimpin tersebut memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syarak, yang diingkari hanyalah perbuatan tersebut akan tetapi kesetiaan kepada pemimpin itu tetap perlu diteruskan. Sabda Rasulullah SAW: "Ketahuilah! Sesiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu dia melihat sesuatu kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan oleh pemimpin itu), maka bencilah kemaksiatan kepada Allah tersebut. Akan tetapi jangan menarik ketaatannya (kepada pemimpin itu)". - Hadis riwayat Imam Muslim

Sekiranya pemimpin melakukan kesalahan maka hendaklah mereka dinasihati dengan cara yang baik berbekalkan niat hanya untuk membawa kebaikan kepada masyarakat keseluruhannya tanpa ada motif-motif yang lain. Di dalam Musnad Ahmad telah diriwayatkan bahawa Rasulullah SAW telah menyenaraikan tiga perkara yang Allah redai untuk diamalkan bagi hamba-hamba-Nya yang mana salah satu darinya adalah: "…Kalian menasihati orang-orang yang Allah angkat menjadi pemimpin atas urusan kalian."

Menasihati atau menegur pemimpin tidak boleh dilakukan secara terbuka di atas pentas-pentas, dengan kata-kata berbentuk cacian dan menghina atau dengan tujuan menanam perasaan benci di kalangan masyarakat terhadap pemimpin tersebut. Hendaklah kita sedari bahawa pemimpin adalah manusia biasa yang adakalanya melakukan kesilapan dalam menguruskan pentadbiran sesebuah negara. Namun sekiranya seseorang pemimpin itu melakukan sesuatu kesilapan ia bukan bererti kita dibenarkan untuk mencelanya secara terbuka tetapi hendaklah kita menasihatinya dan memperjelaskan kesalahannya dengan cara yang penuh hikmah.

Rasulullah SAW telah menunjukkan kepada umatnya tentang cara untuk menasihati pemimpin melalui sabda Baginda: "Sesiapa yang ingin menasihati pemimpin dalam sesuatu urusan, janganlah dia melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah dia mengambil tangan pemimpin tersebut dan ajaklah (nasihatilah) dia secara tersembunyi. Jika dia (pemimpin) menerima (nasihat tersebut) maka itulah yang diharap-harapkan. Jika dia tidak menerima (nasihat) maka sesungguhnya dia (pemberi nasihat tersebut) telah melaksanakan tanggungjawabnya". - Hadis riwayat Imam Ahmad

Menerusi prinsip itu bukan bermakna umat Islam hanya membisu apabila kemaksiatan atau kezaliman seperti rasuah, korupsi, kronisme dan penyalahgunaan kuasa berlaku dengan alasan ia berpunca daripada pihak pemimpin. Kemaksiatan serta kezaliman tersebut tetap perlu diingkari. Maka diperjelaskan secara umum kepada masyarakat bahawa perkara-perkara tersebut adalah bertentangan dengan syarak dan terlarang. Hanya pengingkaran terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh pemimpin itu tetap perlu mengikut tatacara yang telah diperintahkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana telah diperjelaskan. Rasulullah SAW menerusi bimbingan wahyu Ilahi telah meramalkan bahawa pada masa mendatang akan wujud pemimpin yang mentadbir dengan tidak mengikuti ajaran-ajaran baginda namun baginda tetap menyuruh umat Islam untuk taat kepada pemimpin tersebut selagi dia adalah seorang Muslim dan tidak wujud tanda-tanda yang jelas bahawa dia telah kafir.

Rasulullah SAW bersabda: "Akan ada sepeninggalanku nanti pemimpin (yang) kalian mengenalnya dan mengingkari (kejelekannya), maka barang siapa mengingkarinya (bererti) dia telah berlepas diri, dan barang siapa membencinya (bererti) dia telah selamat, akan tetapi barang siapa yang meredainya (akan) mengikutinya. Para sahabat bertanya: Apakah tidak kita perangi (sahaja) dengan pedang? Baginda menjawab: "Jangan, selama mana mereka masih menegakkan solat di tengah-tengah kalian". - Hadis riwayat Imam Muslim

Demikianlah beberapa prinsip penting Ahlus Sunnah Waj Jamaah tentang bagaimana umat Islam harus berurusan dengan pemimpin di sesebuah negara Islam demi mencapai kestabilan politik dan kesatuan umat yang merupakan faktor penting dalam membentuk umat Islam yang kuat dan digeruni musuh. Perpecahan hanya akan melemahkan umat Islam dan menggembirakan musuh-musuh Allah.

Isnin, 13 Oktober 2008

AKOB MENJADI MODEL KALENDAR

Assalaamu'alaikum
Apabila akob memberitahu sahabat-sahabat akob bahawa akob telah terpilih untuk menjadi model Kalendar, maka ramai yang tak percaya dan ada juga yang mentertawakan akob. Ada pula yang kata kat akob yang akob kalau kalendar lumba kuda tu boleh ler. Bila akob tunjuk kalendar yang akob attachkan ini pun ada yang masih berkata "ini kalendar print sendiri tuh..." heheheh. Akob's reply SEE THE LEG lerr.. heheh
Ini sebenarnya kalendar 2008 kumpulan Karangkraf. Gambar tu mereka ambil masa Pesta Buku Antarabangsa KL 2007 di PWTC. Sebelah akob tu Ustaz Maszlee guru, rakan seperjuangan serta sahabat akob. Selain kami berdua, Mufti Perlis Dr Mohd Asri Zainul Abdin juga terpilih menjadi Mr November.
Ternyata ketampanan kami bertiga telah mengalahkan penulis-penulis novel dan buku motivasi yang lain dan telah menyerikan lagi kalendar karangkraf 2008. Betul tak?
Sekian Wassalaam


Khamis, 9 Oktober 2008

Afdal puasa qada dahulu baru puasa enam


Afdal qada hutang' Ramadan sebelum mulakan puasa enam Syawal
Oleh Dr Abdul Basit Abd Rahman
Sumber : Berita Harian, 9hb Oktober 2008

HUKUM puasa sunat enam Syawal adalah sunat. Puasa sunat enam Syawal paling awal dimulakan pada 2 Syawal kerana 1 Syawal adalah Aidilfitri dan dilarang berpuasa pada hari itu. Abu Hurairah berkata yang bermaksud: "Nabi SAW melarang puasa pada hari Aidilfitri dan Aidiladha." (Hadis sahih al-Bukhari)

Syarat dan adab bagi puasa sunat enam Syawal adalah sama seperti puasa wajib Ramadan. Namun sering kali menjadi perbincangan kalangan ulama bagaimana sewajarnya puasa itu dilaksanakan sama ada secara berturut-turut atau terputus.

Pandangan lebih tepat adalah ia boleh dilakukan secara terputus (tidak berturut-turut) asalkan jumlah enam hari dicukupkan sebelum berakhirnya bulan Syawal. Ini kerana apabila Rasulullah SAW menganjurkan puasa sunat enam hari ini, Baginda menyebut bulan Syawal secara umum tanpa memberi ketentuan hari-harinya.

Maka puasa enam boleh dilaksanakan pada mana-mana hari dalam bulan Syawal asalkan bukan pada 1 Syawal dan bukan sesudah berakhir bulan Syawal. Adalah lebih afdal disegerakan pelaksanaan puasa enam Syawal berdasarkan firman Allah yang bermaksud: "Dan bersegeralah kamu kepada (mengerjakan amal yang baik untuk mendapat) keampunan dari Tuhan kamu, dan (ke arah mendapatkan) syurga yang bidangnya seluas segala langit dan bumi, yang disediakan bagi orang bertakwa." (Surah Ali-Imran, ayat 133)

Selain cara melaksanakannya, timbul juga perbincangan apakah dibolehkan berpuasa sunat enam Syawal jika mempunyai hutang puasa Ramadan yang belum diqada. Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, boleh melakukannya berdasarkan dalil bahawa Aisyah pernah mengakhirkan hutang puasa Ramadan yang perlu diqada hingga ke bulan Syaaban akan datang. Aisyah berkata: "Aku memiliki hutang puasa bulan Ramadan. Aku tidak mampu mengqadanya kecuali pada bulan Syaaban kerana sibuk (melayani) Rasulullah SAW." (Sahih Muslim)

Ulama yang mengemukakan pendapat pertama berhujah, sudah tentu tidak mungkin isteri Rasulullah SAW, Aisyah tidak melaksanakan puasa sunat enam Syawal. Pasti beliau melaksanakannya dan tindakan beliau mengqada puasa Ramadan pada bulan Syaaban menunjukkan dibolehkan berpuasa sunat enam Syawal sekali pun seseorang itu memiliki hutang puasa Ramadan.

Pendapat kedua, tidak boleh melakukannya berdasarkan hadis yang menganjurkan puasa sunat enam Syawal itu sendiri yang dikemukakan di awal risalah ini. Hadis itu berbunyi: "Sesiapa yang berpuasa Ramadan kemudian dia mengiringinya dengan enam hari dari bulan Syawal maka seperti ia berpuasa sepanjang tahun."

Rasulullah SAW mensyaratkan berpuasa Ramadan terlebih dulu, kemudian barulah mengiringinya dengan enam hari dalam bulan Syawal. Ini menunjukkan puasa sunat enam Syawal hanya dilaksanakan sesudah seseorang itu menggenapkan puasa Ramadan. Jika ada puasa Ramadan ditinggalkan, ia perlu diqada terlebih dulu barulah diiringi dengan puasa sunat enam Syawal.

Jika diperhatikan secara teliti, pendapat yang kedua lebih rajih (kuat) kerana menepati dalil puasa sunat enam Syawal itu sendiri. Selain itu, membayar hutang yang wajib hendaklah didahulukan daripada memberi sedekah yang sunat.

Namun, jika seorang itu tidak berkesempatan (disebabkan keuzuran) untuk melakukan qada kemudian berpuasa enam dan dia berkeyakinan akan sempat mengqadakan sebelum Ramadan tahun berikutnya, maka pendapat pertama boleh diterima berdasarkan apa yang dilakukan Aisyah.

Menurut Imam An-Nawawi, Mazhab Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafie, Ahmad dan jumhur salaf dan khalaf mengatakan: "Qada puasa Ramadan bagi mereka yang berbuka kerana uzur seperti kedatangan haid dan musafir, maka kewajipan mengqada adalah secara bertangguh, tidak disyaratkan qada terus apabila boleh melakukannya."

Menurut Al-Khatib Asy-Syarbini: "Sesiapa yang tertinggal puasa Ramadan, sunat dia mengqadakannya secara berturut-turut dan makruh bagi orang yang ada qada Ramadan melakukan puasa sunat."

Sementara pendapat menggabungkan puasa qada dan puasa enam dan akan diberi ganjaran kedua-dua pahala dengan puasa yang satu, berlaku khilaf di kalangan ulama, sebahagiannya berpendapat tidak boleh mencampurkan niat puasa sunat dengan puasa fardu lain atau dengan puasa sunat lain. Jika dilakukan maka puasanya itu tidak sah, tidak bagi yang fardu dan sunat.

Ada kalangan ulama Syafi'iyyah berpendapat bahawa ganjaran puasa enam tetap akan diperoleh apabila seseorang berpuasa qada sekalipun ia tidak berniat menggabungkan kedua-duanya, namun pahala yang diperoleh kurang daripada seorang yang berpuasa kedua-duanya secara berasingan.

Selepas dikaji, pandangan ulama yang membolehkan puasa dua dalam satu ini, tidak bersandarkan mana-mana dalil al-Quran dan al-Sunnah. Oleh itu, lakukanlah dua ibadat puasa ini (fardu dan sunat) secara berasingan, kerana sebagai hamba yang tunduk kepada Allah, memperbanyakkan amalan taqarrub dengan memisahkan di antara yang wajib dengan sunat lebih menunjukkan kesungguhan diri mencari keredaan Tuhannya.

Amalan sunat adalah sebagai penampal kepada kekurangan dalam amalan fardu. Sempurnakan dulu qada beberapa hari yang tertinggal, kerana kita tidak tahu apakah hayat dan kesihatan yang ada akan berterusan sehingga kita dapat menunaikannya di masa depan.

Bagi orang yang tidak sempat melakukan puasa sunat kerana sibuk dengan puasa wajib, diharapkan Allah akan memberi ganjaran berdasarkan niat dan azamnya.

Sabda Nabi SAW yang bermaksud: "Apabila seorang hamba Allah sakit atau musafir (beliau tidak dapat melakukan amalan yang biasa dilakukannya) maka dituliskan baginya pahala seperti amalan yang biasa dilakukannya sewaktu tidak bermusafir dan sewaktu sihat." (Sahih Al-Bukhari)

Rabu, 8 Oktober 2008

Kelemahan Dalil Membaca Qur'an Di Kuburan


KELEMAHAN DALIL MEMBACA QUR’AN DI KUBURAN.
Oleh Mohd Yaakub bin Mohd Yunus
(Artikel ini pernah disiarkan oleh Majalah i)

Jumhur (majoriti) para ulamak bersetuju bahawa ziarah kubur merupakan satu amalan yang sunnah kerana ianya telah dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. melalui sebuah hadis sahih:


“…maka berziarah kuburlah kamu, kerana hal itu mengingatkan kepada kematian.” - Hadis riwayat Imam Muslim


Begitu juga telah jelas bagi para ulamak bahawa disunnahkan untuk memberi salam serta mendoakan kesejahteraan kepada jenazah ketika menziarah kubur. Aisyah r.a berkata:


“Bahawasanya Nabi s.a.w. pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu baginda mendoakan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, baginda menjawab: “Sesungguhnya aku diperintah untuk mendoakan mereka.” – Hadis riwayat Imam Ahmad


Di antara doa-doa yang telah diajar oleh Rasulullah s.a.w adalah:


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلَاحِقُونَ. أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ.

“Salam sejahtera hai penghuni kubur mukminin dan muslimin dan insya Allah kami akan menyusulmu. Aku mohon keselamatan kepada Allah bagi kami dan kalian.” - Hadis riwayat Imam Muslim


السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ.

“Salam sejahtera hai penghuni kubur mukminin dan muslimin, semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian dari kami dan insya Allah kami akan menyusul.” – Hadis riwayat Imam Muslim

Namun begitu para ulamak telah berselisih pendapat tentang hukum membaca al-Qur’an di kuburan untuk mensedekahkan pahalanya kepada penghuni kubur tersebut. Yang lebih menepati pandangan Imam al-Syafi’i r.h adalah kiriman pahala tersebut tidak sampai dan beliau berhujah dengan firman Allah S.W.T. :


(Dalam Kitab-kitab itu ditegaskan): Bahawa sesungguhnya seseorang yang boleh memikul tidak akan memikul dosa perbuatan orang lain (bahkan dosa usahanya sahaja); Dan bahawa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya. - Al-Najm : 38-39

Telah berkata al-Hafidz Ibnu Kathir r.h di dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim ketika mentafsirkan ayat di atas:

“Iaitu sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seseorang tidak akan memperolehi ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah dia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Imam al-Syafi’i bersama para ulamak yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum bahawa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Kerana bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengsyari’atkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an kepada yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarinya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang jelas lagi terang) dan tidak juga dengan isyarat dan tidak pernah dinukilkan dari seorangpun sahabat (bahawa mereka pernah mengirim pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah mati). Jika sekiranya amalan itu baik tentu para sahabat telah mendahului kita mengamalkannya. Dan di dalam masalah ibadah ianya hanya terbatas pada dalil dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas atau pendapat-pendapat.” Imam al-Nawawi r.h pula di dalam Syarah Muslim (jilid 1, ms. 90) telah berkata: Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada simati) maka yang masyhur di dalam mazhab Syafi’i tidak dapat sampai kepada si mati yang dikirim… Sedang dalilnya bagi Imam al-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya ialah firman Allah: “bahawa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya.” Dan Sabda Nabi s.a.w.: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya kecuali tiga hal iaitu sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak soleh (lelaki atau perempuan) yang berdoa untuknya.” – Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi. Imam Muzani r.h di Hamish al-Umm telah berkata: “Rasulullah s.a.w. memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahawa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.” – Rujuk tepi al-Umm, al-Syafi’i, jilid 7, ms. 269 Al-Haitami r.h pula berkata: “Si mati tidak boleh dibacakan apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak daripada ulamak mutaqaddimin (terdahulu) bahawa bacaan (yang pahalanya ingin dikirimkan) adalah tidak sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya sahaja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang mengamalkan perbuatan itu berdasarkan firman Allah: “Dan bahawa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya.” – rujuk al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, jilid 2, ms. 9


Imam al-Khazin r.h di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut: “Dan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahawa pahala bacaan al-Qur’an adalah tidak dapat sampai kepada si mati yang dikirim.” – rujuk al-Jamal, jilid 4, ms. 236


Tambahan pula membaca al-Qur'an di kawasan perkuburan menyalahi sunnah Rasulullah s.a.w., karena baginda menyuruh kita membaca al-Qur'an di rumah: Sabdanya: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya syaitan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.” - Hadis riwayat Imam Muslim


Hadis ini menunjukkan bahawa bahawa kawasan perkuburan bukanlah tempat untuk membaca al-Qur'an sebagaimana di rumah. Menerusi hadis ini juga kita dapat fahami bahawa dilarang menjadikan rumah seperti kuburan yang tidak dibaca al-Qur'an. Jumhur ulamak salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad dan imam-imam yang lain melarang membaca al-Qur’an di perkuburan.


Sebagai contoh Imam Abu Dawud r.h berkata dalam kitab Masaa’il Imam Ahmad (ms. 158): “Aku mendengar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur’an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak Boleh” Menurut Ibnu Taimiyyah r.h : “Daripada al-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di perkuburan) menurut beliau adalah bidaah. Imam Malik berkata: Tidak aku dapati seorang pun daripada para sahabat dan tabi’in yang melakukan hal itu. – rujuk Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim, ms. 380


Bagi para ulamak yang mendokong pendapat bahawa diharuskan membaca al-Qur’an di perkuburan mereka telah berhujah dengan beberapa hadis. Namun demikian hadis-hadis tersebut telah dikritik hebat oleh ulamak-ulamak hadis dan mereka telah melemahkannya bahkan ada juga di antaranya yang bertaraf mawdhu’ (palsu). Sebagai contoh mari kita melihat beberapa dalil-dalil yang sering digunakan.


HADIS PERTAMA:


“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orang tuanya setiap hari Jumaat, lalu membaca (surat Yasin) di sisi keduanya (di sisinya), nescaya diampuni baginya sebanyak bilangan setiap ayat atau huruf (yang dibacanya).


Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady, Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashfahaan, Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (dia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, daripada Hisyam bin ‘Urwah, daripada ayahnya (‘Urwah), daripada ‘Aisyah, daripada Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’. Kelemahan hadis ini terletak kepada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Dia dituduh suka mencuri hadis daripada para periwayat yang tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadis. Di antara ulamak yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan al-Daraquthni. Oleh itu hadis ini darjatnya palsu (mawdhu’) – diringkaskan dari Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah Wal Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, Jilid.1, no.50.


HADIS KEDUA:


Barangsiapa yang melalui kuburan, kemudian membaca surah al-Ikhlas sebelas kali, lalu di hadiahkan pahalanya kepada mayat, maka akan diberi balasan pahala sesuai jumlah jenazah yang ada di perkuburan tersebut. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Khallal dan al-Dailami.


Namun demikian perawi yang terdapat dalam sanad hadis ini telah dikritik oleh al-Dzahabi, al-Hafiz Ibnu Hajar, Ibnu Iraq dan menurut Syaikh al-Albani hadis ini batil bahkan mawdhu’ (palsu). – Diringkaskan dari Ahkaamul Janaa’iz wa Bida’uha oleh Syaikh al-Albani.


HADIS KETIGA:


Barangsiapa yang berziarah di kuburan kemudian dia membaca al-Fatihah, Qul Huwallahu Ahad dan Alhakumut takasur lalu dia berdoa. "Ya Allah, ku hadiahkan pahala pembacaan Firman-Mu pada kaum Mukminin penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafaat) pada hari kiamat

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu al-Qasim Sa’id bin Ali al-Zanjani dalam kitab Fawa’idnya. al-Mubarakfuri telah mengemukakannya ketika membanding hujah-hujah pendapat yang berkata boleh membaca al-Qur’an di kubur dan menghadiahkan pahala kepada ahli kubur. Setelah mengemukakan hadis ini dan dua yang lain (satu darinya ialah Hadis Kedua di atas), beliau menukil pendapat al-Hafiz Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi yang menerangkan bahawa hadis-hadis dalam bab ini semuanya lemah, akan tetapi boleh dihimpunkan untuk dijadikan dalil bahawa amalan sedemikian memiliki dasar dalam agama.

Namun pendapat al-Hafiz Syamsuddin ini dikritik oleh al-Mubarakfuri. Beliau menegaskan, tidak semua hadis yang lemah apabila dihimpun dapat dijadikan dalil bahawa amalan tersebut memiliki dasar dalam agama. Untuk mengatakan sesuatu amalan itu memiliki dasar, seseorang itu hendaklah mengemukakan dalil dengan sanad yang sahih. – diringkaskan dari Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Tirmizi oleh al-Mubarakfuri, jilid. 3, ms. 275

Apa pun jua hadis ini sebenarnya tidak terdapat dalam mana-mana kitab hadis utama dan al-Mubarakfuri juga menukilnya tanpa sanad. Ini menunjukkan betapa terpencilnya hadis ini disisi para ulamak hadis.


HADIS KEEMPAT

Bacakanlah surah Yasin untuk orang-orang yang akan mati (mautaakum) di antara kamu.

Hadis ini diriwayat Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dan juga Imam Ahmad dari jalur Sulaiman al-Taimi, daripada Abu ‘Utsman, daripada Ayahnya, daripada Ma’qil bin Yasar. Lafaz ini adalah daripada kitab Sunan Abu Dawud. Status hadis ini sebenarnya masih diperbincangkan oleh para ulamak hadis. Namun apa yang lebih tepat status hadis ini adalah dha’if (lemah). Menurut al-Dzahabi, Ibnul Madini, Ibnul Mundzir, Ibnul Qaththan dan al-Nawawi, Abu ‘Utsman adalah seorang yang majhul (tidak dikenali). Manakalanya ayahnya juga dianggap majhul oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Qaththan dan al-Nawawi.

Sekiranya hadis ini sahih sekalipun, mautaakum bukan bermaksud orang yang sudah mati tetapi orang yang hampir mati. Perhatikanlah sabda Rasulullah s.a.w. ini:

Ajarkanlah oleh kamu orang-orang yang akan / hampir mati (mautaakum) di antara kamu La ilaaha illallahu. - Hadis riwayat Imam Muslim

Apa yang diperintah oleh Nabi s.a.w. di atas adalah untuk mengajar orang yang sedang menghadapi maut bacaan La ilaaha illallah.


Masih terdapat beberapa lagi hadis-hadis yang digunakan oleh golongan yang membenarkan pembacaan al-Qur’an di kuburan. Hanya sahaja hadis-hadis tersebut tidak sunyi dari kritikan oleh para ulamak hadis. Telah sepakat oleh para ulamak bahawa hadis-hadis dha’if (lemah) dan mawdhu’ (palsu) tidak boleh dijadikan hujah untuk perkara-perkara berkaitan akidah dan penetapan hukum-hakam (seperti mewajibkan mahupun menetapkan hukum sunat terhadap sesuatu amal). Hanya sahaja para ulamak berbeza pendapat tentang kebolehan mempergunakan hadis dha’if (lemah) dengan syarat-syarat yang ketat untuk bab fadilat amal atau targhib dan tarhib. Apa pun jua perbincangan tentang hukum membaca al-Qur’an di kuburan tidak termasuk dalam bab fadilat amal mahupun targhib dan tarhib maka hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujah. Dari sini dapat kita rumuskan bahawa amalan yang lebih menepati sunnah Rasulullah s.a.w. ketika menziarah kuburan hanyalah memberi salam dan mendoakan kesejahteraan mayat di perkuburan tersebut. Inilah amalan yang benar-benar sah daripada Rasulullah s.a.w. Oleh itu ziarahlah kubur kerana ianya boleh mengingatkan kita kepada kematian tetapi hindarkanlah diri dari melakukan amalan-amalan bidaah di perkuburan dan janganlah mengkhususkan hari perayaan yang tertentu untuk menziarah kubur sebagaimana yang diamalkan oleh penganut agama-agama lain. Harus juga kita fahami bahawa al-Qur’an ini diturunkan bertujuan untuk memberi peringatan bagi mereka yang hidup. Firman Allah S.W.T.:

“(Al-Quran ini) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (dan umatmu wahai Muhammad), -Kitab yang banyak faedah-faedah dan manfaatnya, untuk mereka memahami dengan teliti kandungan ayat-ayatnya, dan untuk orang-orang yang berakal sempurna beringat mengambil iktibar.” – Shaad : 29 Di dalam surah Yasin yang sering dibacakan di kuburan juga terdapat firman-Nya:

“Supaya ia (al-Qur’an) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup…” - Yasin : 70

Telah berkata Abdul Hakim bin Amir Abdat:

“Allah S.W.T. menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an ini menjadi peringatan untuk orang-orang yang hidup, dan ayat ini terdapat di dalam surah Yasin. Sedangkan saudara-saudara kita membacakan surah Yasin ini di hadapan orang-orang yang mati. Subhanallah! Kejahilan apakah ini namanya?” - al-Masaa-il : Masalah-Masalah Agama, jilid 1, ms. 302


Penulis juga ingin mengingatkan kepada semua pihak supaya menghindarkan diri dari menyebarkan hadis-hadis palsu kerana ianya termasuk dalam perbuatan berdusta di atas nama Rasulullah s.a.w. Perbuatan yang keji ini telah diberikan amaran yang keras oleh Rasulullah s.a.w. sendiri. Menurut Imam al-Thahawi r.h di dalam kitabnya Musykilul Athar (jilid 1, ms.176): “Barangsiapa yang menceritakan (hadis) daripada Rasulullah s.a.w. atas dasar zhan / persangkaan, bererti dia telah menceritakan (hadis) daripada baginda s.a.w. dengan tanpa haq (dengan tidak benar). Dan orang yang menceritakan (hadis) daripada baginda s.a.w. dengan tanpa haq, bererti dia telah menceritakan (hadis) daripada baginda s.a.w. dengan cara yang batil. Dan orang yang telah menceritakan (hadis) dari baginda s.a.w. dengan cara yang batil, nescaya dia menjadi salah seorang pendusta yang masuk ke dalam sabda Nabi s.a.w.:


“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” - Hadis riwayat Imam al-Bukhari

MESTI TONTON RTM1, 12hb Oktober (AHAD), 8.40mlm



Assalaamu'alaikum
Pastikan anda semua menonton program Blog di RTM1 hari ahad ini. Saksikan Sahabat baik, rakan seperjuangan dan mentor akob iaitu Kapten Hafiz Firdaus Abdullah menyampaikan buah fikirannya di RTM1.
Sekian Wassalaam



Bacaan al-Qur'an Di Kubur : HADIS PALSU MENYESATKAN UMAT


Hadis palsu menyesatkan umat
Oleh Dr. Azwira Abdul Aziz
Sumber : Utusan Online

Dalam sebuah risalah terbitan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), ajaran sesat didefinisikan sebagai apa jua ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang Islam atau bukan Islam yang mendakwa bahawa ajaran tersebut adalah ajaran Islam atau berdasarkan kepada ajaran Islam, sedangkan hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan Islam yang berdasarkan al-Quran dan sunah serta juga bertentangan dengan ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah. (Mustafa Ab. Rahman & rakan-rakan, Mengenal ajaran sesat di Malaysia, Jakim, 2000, hal: 1).

Risalah yang sama juga ada menyebutkan bahawa antara ciri-ciri ajaran sesat itu ialah ia tidak berdasarkan nas-nas syarak sama ada al-Quran atau pun hadis tetapi berdasarkan kepada cerita rekaan, dongeng, khayalan karut, kepercayaan lama dan adat yang bercanggah dengan Islam. (Ibid, hal: 10).

Tidak dinafikan lagi bahawa hadis-hadis palsu yang digunakan dalam epistemologi Islam adalah termasuk dalam kategori cerita rekaan dan dongeng. Tetapi, malangnya di negara kita Malaysia, fenomena penggunaan hadis palsu dalam menghuraikan ajaran agama oleh segelintir individu yang tidak bertanggungjawab masih berleluasa.

Antara contoh terkini yang disebarkan ialah hadis-hadis berkenaan membaca al-Quran ketika ziarah kubur. Hadis itu bermaksud, “Barang siapa berziarah ke kuburan kedua-dua oran tua atau salah satu di antara mereka pada hari Jumaat dan membacakan surah Yasin, maka dia akan diampuni dosanya dan dihitung sebagai kebaikan”.

Hadis ini dijadikan dalil untuk menjustifikasikan amalan membaca al-Quran di kubur, kononnya amalan itu adalah suatu sunah yang diamalkan oleh Nabi s.a.w. dan para sahabat r.a. Walhal, ia adalah sebuah hadis palsu yang mana kepalsuannya telah ditegaskan oleh para ulama hadis seperti Ibn Adiyy dalam Al-Kamil Fi Ducafa' Ar-Rijal (1985, 5:151), Az-Zahabi dalam Mizan Al-Ictidal Fi Naqd ar-Rijal (T.th, 4: 181), As-Suyuti dalam Al-Lali’ Al-Masnu’ah Fi Al-Ahadith Al-Maudu’ah (1401 H, 2: 440) dan At-Ta’qqubat ‘Ala Al-Maudu’at (1303 H, Hal: 23), Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah Fi Al-Ahadith Al-Maudu’ah (1407 H, Hal: 850), At-Tarabulusi dalam Al-Kasyf Al-Ilahi (1408 H, 1:937) dan As-San’ani dalam An-Nawafih Al-‘Atirah Fi Al-Ahadith Al-Musytahirah (1414 H, hal: 2167).

Satu lagi hadis palsu berkaitan membaca al-Quran di kubur ialah yang bermaksud, “Barang siapa yang berziarah di kuburan, kemudian dia membaca al Fatihah, Qul Huwallahu Ahad dan al-Hakumut Takasur, lalu ia berdoa: “Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum mukminin penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafaat) pada hari kiamat”.

Saya telah cuba setakat terdaya menyemak sumber dan status hadis ini sama ada dalam kitab-kitab yang mengumpul hadis sahih atau yang mengumpul hadis daif dan palsu, tetapi gagal menemuinya. Ketiadaan hadis berkenaan dalam kitab-kitab sumber hadis yang muktabar adalah suatu petanda yang menunjukkan kepalsuannya. Satu perkara yang perlu dijelaskan di sini ialah perbezaan antara hukum ziarah kubur sambil membaca zikir yang sabit daripada Nabi s.a.w. dengan hukum membaca al-Quran di atas kubur. Tiada sesiapa pun yang menghukum amalan ziarah kubur sambil memberi salam kepada penghuni kubur serta berdoa dan beristighfar untuk mereka sebagai amalan bidaah. Kerana amalan sedemikian memang disunahkan oleh Nabi s.a.w. melalui nas-nas yang sahih.

Berbeza dengan amalan ziarah kubur sambil membaca al-Quran di atasnya, di mana jumhur ulama memang melihatnya sebagai bidaah, kerana beberapa alasan ilmiah.

Pertama, kerana tidak ada nas sahih yang menyokong amalan membaca al-Quran di kubur. Semua hadis berkenaan amalan tersebut tiada asal usulnya (palsu) sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Albani dalam Ahkam Al-Janaiz Wa Bida’iha (1969, hal: 191).
Salam

Kedua, kerana semua nas sahih berkenaan cara Nabi s.a.w. ziarah kubur tidak menyebut baginda pernah melakukan amalan membaca al-Quran di kubur. Meskipun para sahabat r.a. mengajukan pertanyaan yang khusus tentang apa yang perlu dibaca ketika ziarah kubur, namun baginda menjawabnya tidak lebih daripada sekadar memberi salam dan mendoakan keampunan untuk ahli kubur. Sekiranya al-Quran boleh dibaca di kubur nescaya baginda akan menyatakannya.

Ketiga, kerana terdapat nas-nas sahih yang menafikan adanya amalan membaca al-Quran di kubur pada zaman Nabi s.a.w. seperti sabda baginda yang bermaksud, Jangan kamu jadikan rumah kamu seperti kawasan perkuburan. Sesungguhnya syaitan akan lari daripada rumah yang di bacakan di dalamnya surah al-Baqarah. (Riwayat Muslim, Tarmizi, dan Ahmad).

Dalam hadis ini, Nabi s.a.w. menggalakkan umatnya supaya membaca al-Quran di rumah kerana ia boleh menghalau hantu syaitan. Baginda melarang umatnya daripada membiarkan rumah mereka sunyi sepi tanpa bacaan al-Quran kerana rumah yang tiada bacaan al-Quran itu sama seperti kawasan perkuburan yang juga sunyi sepi lantaran tiada orang membaca al-Quran di situ.

Analogi Nabawi ini membuktikan bahawa masyarakat Islam di zaman Nabi s.a.w. sememangnya tidak melakukan amalan membaca al-Quran di kubur, sebab itulah baginda menggambarkan rumah yang sunyi daripada bacaan al-Quran itu sama seperti kubur.

Jika masyarakat Islam di zaman Nabi s.a.w. melakukan amalan membaca al-Quran di kubur nescaya baginda tidak akan menyamakan rumah yang tiada bacaan al-Quran itu dengan kubur.
Tiada siapapun menafikan kelebihan membaca al-Quran, tetapi sebagaimana syarak menggalakkan bacaan al-Quran pihak syarak juga menentukan tempat yang sesuai untuk membaca al-Quran.

Majoriti masyarakat Islam di Malaysia boleh dikatakan kurang kerap membaca al-Quran, justeru jika kekurangan itu disusuli pula dengan kesilapan memilih tempat, maka ia sesuatu yang sangat merugikan.

Lebih buruk lagi jika segala syaitan yang ada di kawasan perkuburan itu berpindah ke kawasan perumahan umat Islam di sebabkan kekerapan mereka membaca al-Quran di kubur daripada di rumah.

* Dr. Azwira Abdul Aziz ialah pensyarah Jabatan Pengajian Al-Quran & As-Sunnah, Universiti Kebangsaan Malaysia.